Ketika
aku menikah dua tahun yang lalu, rasanya dunia ini hanya milikku
seorang. Betapa tidak, aku mendapatkan seorang pria yang menjadi impian
semua gadis di seluruh kampungku. Aku menjadi
istri seorang pejabat di kota yang kaya raya. Bayangkan saja, suamiku
memiliki puluhan hektar tanah di kampungku, belum ruko-ruko yang
dikontrakan. Tidak hanya di daerah kampungku tetapi ada juga di
daerah-daerah lainnya. Sudah terbayang di benakku, setiap hari aku
tinggal di rumah besar dan mewah (setidaknya untuk ukuran di kampungku),
naik mobil bagus keluaran terbaru.
Hari-hariku sebagai
istrinya memang membahagiakan dan membanggakan. Teman-teman gadisku
banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri
tidak yakin dengan kebahagian yang kurasakan saat itu. Hati kecilku
sering dipenuhi oleh kekhawatiran yang sewaktu-waktu akan membuat
hidupku jatuh merana. Aku sebenarnya bukanlah satu-satunya wanita
pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka
tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu akan
keberadaanku sebagai madunya.
Ketika menikah pun aku sudah tahu
akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya,
memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku.
Mereka malah sangat mengharapkan aku menjadi istrinya. Mungkin mereka
mengharapkan kehidupan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan
dipandang oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya.
Mungkin memang sudah nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula
hidupku cukup bahagia dengan statusku ini.
Semua itu kurasakan
setahun yang lalu. Begitu menginjak tahun kedua, barulah aku merasakan
perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini
mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku,
kemudian sebulan dan terakhir aku sudah tak menghitung lagi entah berapa
bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.
Aku tak
berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat hidupku
lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertamanya tahu
keberadaanku. Tentunya akan marah besar dan mengadukanku ke pihak
berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang
tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia,
memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan ternak-ternak piaraan
pemberian suamiku.
Hari hari yang kulalui semakin tidak
menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai
kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi
semua itu tidak membuat perasaanku tenang. Justru menjadi gelisah,
terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di ranjang sampai
larut malam menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei
tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti di hari-hari awal pernikahan
kami dulu. Sprei tempat tidurku tak pernah rapi, selalu acak-acakan dan
hangat bekas pergulatan tubuh kami yang selalu berkeringat. Di saat-sat
seperti inilah aku selalu merasakan kesedihan yang mendalam, gelisah
mendambakan kehangatan seperti dulu. Rindu akan cumbuan hangat suamiku
yang sepertinya tak pernah padam meski usianya sudah mulai menua.
Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi semakin gelisah. Gelisah
oleh perasaanku yang menggebu-gebu. Bahkan akhir-akhir ini semakin
membuat kepalaku pusing. Membuatku uring-uringan. Marah oleh sesuatu
yang aku sendiri tak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam
impianku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat
suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku.
Aku menggelinjang setiap kali terkena sentuhan bibirnya, bergetar
merasakan sentuhan lembut jemari tangannya di bagian tertentu tubuhku.
Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbui diriku sendiri.
Tangannku menggerayang ke seluruh tubuhku sambil membayangkan semua itu
milik suamiku. Pinggulku berputar liar mengimbangi gerakan jemari di
sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi-tinggi menyambut
desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan merintih
kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di ranjang kembali ke alam
sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh
bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.
Pelarianku
itu menjadi kebiasaan setiap menjelang tidur. Menjadi semacam keharusan.
Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi
kebutuhan bathinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir.
Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam
perasaanku saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini?
Suamiku? Entah kapan ia datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa
mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.
Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar
bahwa keadaanku sehari-hari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu
kemudian bahwa ternyata Kang Hendi, suami kakakku, mengikuti
perkembanganku sehari-hari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku
sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar
untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita.
Sekalian menemaniku yang hidup seornag diri.
"Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian yang di sana dikontrakan saja" demikian saran orang tuaku waktu itu.
Aku pun tak keberatan. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya
berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai
suatu malam ketika aku sedang melakukan hal 'rutin' terperanjat setengah
mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan
suamiku. Sebelum sadar, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali.
Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika puting
payudaraku dijilat dan dihisap-hisap dengan penuh gairah. Aku sampai
mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin bertambah hebat
menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak perlahan
menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi
semak-semak lebat di sekitar selangkanganku. Aku hampir berteriak saking
menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah
dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah
membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun
dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawah tubuhku
untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum
terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu
bergerak-gerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.
"Aduh kenapa sih ini.." gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tanganku ke bawah sana.
Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kuraba-raba dan baru kutahu
bahwa itu adalah kepala seseorang. Aku kaget. Dengan refleks aku bangun
dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa terjadi. Setelah
mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat di sana ternyata seseorang
tengah merayap ke atas ranjang. Aku semakin kaget begitu kutahu orang
itu adalah Kang Hendi, kakak iparku!
Saking kagetnya, aku
berteriak sekuat tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu.
Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka,
menganga lebar-lebar. Kedua mataku melotot seakan tak percaya apa yang
kulihat di hadapanku adalah Kang Hendi yang bertelanjang dengan hanya
memakai cawat.
Kang Hendi menghampiri sambil mengisyaratkan
agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut,
marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat
kehadirannya di kamarku dalam keadaan setengah telanjang seperti itu.
"Kang! Lagi apa..?" hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang sudah tak karuan.
Aku baru sadar ternyata seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas
dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. Untungnya saja
celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang.
Aku buru-buru menutupi ketelanjangan dadaku karena kulihat mata Kang
Hendi yang liar nampaknya tak pernah berkedip menatap ke arah sana.
Saking takutnya aku tak bisa ngomong apa-apa dan hanya melongo melihat
Kang Hendi semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil
meraih tanganku dan membisikan kata-kata rayuan bahwa aku ini cantik
namun kurang beruntung dalam perkawinannya. Dadaku serasa mau meledak
mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak
butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak ingat akan istrinya,
yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu.
Apalagi ia sudah berani-berani masuk ke dalam kamarku malam-malam
begini.
Teringat itu aku langsung bertanya, "Kemana Teh Mirna?".
"Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana" kata Kang Hendi dengan tenang seolah tidak bersalah.
Kurang ajar, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Mirna nggak ngomong-ngomong sebelumnya.
"Kok dia nggak bilang-bilang mau pulang" Tanyaku heran.
"Tadinya mau ngomong. Tapi Kang Hendi bilang nggak usah kasihan Neng
Anna sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin" jelasnya.
Dasar laki-laki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk
kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku,
kedua ia berani mengkhianati istrinya yang juga kakak kandungku sendiri!
"Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain kemari.. Cuma..
ngh.. pake gituan aja" kataku seraya melirik Kang Hendi sekilas. Aku tak
berani lama-lama karena takut melihat tatapannya.
"Neng.." panggilnya dengan suara parau.
"Akang kasihan lihat Neng Anna. Akhir-akhir ini kelihatannya semakin menderita saja" ucapnya kemudian.
"Akang tahu dari mana saya menderita" sergahku dengan mata mendelik.
"Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.." katanya dengan ragu-ragu.
"Ada apa kang?" tanyaku semakin penasaran sambil menatap wajahnya lekat-lekat.
"Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu" katanya tanpa malu-malu.
"Maksud Akang?"
"Ini.. Akang, maaf neng.., pernah lihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.." ungkapnya setengah-setengah.
"Jadi Akang suka ngintip saya?" tanyaku semakin sewot.
Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian menatapku dengan penuh gairah.
"Akang ingin menolong kamu" bisiknya hampir tak terdengar.
Kepalaku serasa dihantam petir mendengar pengakuan dan keberaniannya
mengungkapkan isi hatinya. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara
seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang
tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak
bertenaga menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku selama
ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang Hendi
melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.
Kang
Hendi tidak menyerah begitu saja melihat kemarahanku. Kebingunganku
telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu sejak kapan Kang Hendi
merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada
jalan bagiku untuk melarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang
jauh lebih besar dariku. Aku menyembunyikan kepalaku ketika ia merangkul
tubuhku. Tercium aroma khas lelaki tersebar dari tubuh Kang Hendi. Aku
rasakan otot-otot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua
tangannya yang kekar melingkar sehingga tubuhku yang jauh lebih mungil
tertutup sudah olehnya. Aku berontak sambil mendorong dadanya. Kang
Hendi malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya.
Tenagaku sama sekali tak berarti dibanding kekuatannya. Nampaknya usaha
sia-sia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.
"Kang inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji
nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja.." pintaku memelas saking
putus asanya.
Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendi
memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan
tangannya sudah mulai menarik-narik pakaian tidurku. Aku berusaha
menghindar dari ciuman itu sambil menahan pakaianku agr tak terbuka.
Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendi sekuat tenaga
sambil terus-terusan mengingatkan dia agar menghentikan perbuatannya.
Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa dicegah, justru sebaliknya ia
semakin garang. Pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu
menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan, terdengar
suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga ke
pinggang dan memperlihatkan dadaku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi.
Kulihat mata Kang Hendi melotot menyaksikan buah dadaku yang montok dan
kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua tanganku dengan
cepat menutupi ketelanjanganku dari tatapan liar mata lelaki itu.
Upayaku itu membuat Kang Hendi semakin beringas. Ia marah dan menarik
kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan
kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di
atas tubuhku.
"Kang jangan!" cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.
Kedua tanganku dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi kepalaku.
Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang
menjulang tegar ke atas. Kepalaku meronta-ronta begitu kurasakan
wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin
menyaksikan bagian tubuhku yang tak pernah tersentuh orang lain kecuali
suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendi. Aku tak rela ia
menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. Sia-sia saja.
Air mataku langsung menetes di pipi. Aku tak sanggup menahan tangisku
atas perbuatan tak senonoh ini.
Kulihat wajah Kang Hendi
menyeringai senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil
berkata bahwa dirinya justru menolong diriku. Ia, katanya, akan berusaha
memberikan apa yang selama ini kudambakan.
"Kamu tenang aja dan nikmati. Akang janji akan pelan-pelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.." katanya kemudian.
Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau
Kang Hendi mengucapkan kata-kata seperti itu, karena aku tak rela
diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah
kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan
Kang Hendi menciumi wajahku sesuka hati. Bibirnya dengan leluasa
mengulum bibirku, menjilati seluruh wajahku. Aku hanya diam tak bergerak
dengan mata terpejam.
Hatiku menjerit merasakan cumbuannya
yang semakin liar, menggerayang ke leher dan teus turun ke atas dadaku.
Aku menahan nafas manakala bibirnya mulai menciumi kulit di seputar buah
dadaku. Lidahnya menari-nari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit
buah dadaku. Kadang-kadang lidahnya menjentik sekali-sekali ke atas
putingku.
"Nggak rela.. nggak rela..!" jeritku dalam hati.
Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. Terdengar suara kecipakan
mulutnya yang dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok.
Seolah ingin merasakan setiap inci kekenyalannya. Aku seakan terpana
oleh cumbuannya. Hatiku bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada
diriku. Kemana tenagaku? Kenapa aku tidak berontak? Kenapa membiarkan
Kang Hendi berbuat semaunya padaku? Aku mendengus frustrasi oleh
perasaanku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah
terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam
diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu
lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. Memiliki
kehormatan. Aku bukanlah wanita murahan yang dapat sesuka hati mencari
kepuasan. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku
sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletup-letup tak terkendali.
Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang hebat
merasakan perang bathin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat. Bukankah
perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?
Tanpa sadar dari
bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan,
Kang Hendi dapat mendengarnya dan merasakan perubahan yang terjadi dari
tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia nampak begitu yakin bahwa aku
akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangannya pada tanganku
pun dilepaskan dan berpindah ke atas buah dadaku untuk meremasnya. Ia
sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari
cekalannya.
Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Kang Hendi
ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan terbebasnya tanganku untuk mendorong
tubuhnya dari atasku. Aku malah menaruhnya di atas kepala Kang Hendi
yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malah meremas rambutnya,
menekan kepalanya ke atas dadaku.
"Kang udah.. jangaann..!" rintihku masih memintanya berhenti.
unik-asik-aneh.blogspot.com - Cerita Dewasa - Tidur Dengan Kakak Iparku
Oh sungguh munafik sekali diriku! Mulutku terus-terusan mencegah namun
kenyataannya aka malah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Akal
sehatku sudah hilang entah kemana. Aku sudah tak ingat akan suamiku,
kakakku, atau diriku sendiri. Yang kuingat hanyalah rangsangan dahysat
akibat jilatan dan kuluman bibir Kang Hendi di seputar putingku.
Tangannku menggerayang di atas punggungnya. Meraba-raba kekerasan
otot-otot pejalnya. Aku semakin terbang melayang, membayangkan
keperkasaannya. Inikah jawaban atas semua mimpi-mimpiku selama ini?
Haruskah semua ini kulakukan? Meski dengan kakak iparku sendiri? Apakah
aku harus mengorbankan semuanya? Pengkhianatan pada suamiku? Kakakku?
Hanya untuk memuaskan keinginanku seorang? Aakkhh.. tidak.. tidak!
jeritku mengingat semua ini.
Cerita Dewasa - Namun apa mau
dikata, cumbuan Kang Hendi yang begitu lihai sepertinya tahu persis
keinginanku. Kebutuhanku yang sudah cukup lama terkekang. Letupan gairah
wanita kesepian yang tak pernah terlampiaskan. Peperangan dalam
bathinku usai sudah dan aku lebih mengikuti naluri gairah birahiku.
"Akaangg..!" jeritku lirih tak sadar memanggil namanya saat puting susuku disedot kuat-kuat.
Aku menggelinjang kegelian. Sungguh nikmat sekali hisapan itu. Luar
biasa. Kurasakan selangkanganku mulai basah, meradang. Tubuhku
menggeliat-geliat bagai ular kepanasan mengimbangi permainan lidah dan
mulut Kang Hendi di buah dadaku yang terasa semakin menggelembung keras.
"Oohh Neng.. bagus sekali teteknya. Akang suka sekali.. mmpphh.. wuiihh.. montok banget" komentar Kang Hendi.
Sebenarnya hatiku tak menerima ucapan-ucapan kotor yang keluar dari
mulut Kang Hendi. Sepertinya aku ini wanita murahan, yang biasa
mengobral tubuhnya hanya demi kepuasan lelaki hidung belang. Tetapi
perasaan itu akhirnya tertutup oleh kemahirannya dalam mencumbu diriku.
Tubuhku sepertinya menyambut hangat setiap kecupan hangat bibirnya.
Badanku melengkung dan dadaku dibusungkan untuk mengejar kecupan
bibirnya. Nampaknya justru akulah yang menjadi agresif. Liar seperti
kuda binal yang baru lepas kandang.
"Mmpphh.. Neng Anna.. kalau
saja Akang dari dulu tahu. Tentunya Neng nggak perlu lagi gelisah tiap
malam sendirian. Akang pasti mau nemenin semalamam.." celoteh Kang Hendi
seakan tak tahu betapa malunya diriku mendengar ucapan itu.
Aku sudah tak perduli lagi dengan celotehan tak senonohnya. Aku sudah
memutuskan untuk menikmati apa yang sedang kunikmati saat ini. Kudorong
kepala kang Hendi ke bawah menyusur perutku. Aku ingin merasakan seperti
saat kubermimpi tadi. Rupanya Kang Hendi mengerti keinginanku. Dengan
nafsu menggebu-gebu, ia mulai bergerak. Kedua tangannya menelusup ke
bawah tubuhku, mencekal pinggangku. Mengangkat pinggulku sedikit
kemudian tangannya ditarik ke bawah meraih tepian celana dalamku dan
memelorotkannya hingga terlepas dari kedua kakiku. Aku mengikuti apa
yang ia lakukan. Aku kini sudah terbebas. Pakaian tidurku entah sudah
tercampak dimana. Tubuhku sudah telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun
yang menghalangi.
Kulirik Kang Hendi terbelalak memandangi
ketelanjanganku. Ia seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapan
matanya kini. Gairahku seakan mau meletup melihat tatapan penuh pesona
mata Kang Hendi. Membuatku demikian tersanjung. Aku bangga dikarunia
bentuk tubuh yang begitu indah. Kedua dadaku membusung penuh, keras dan
kenyal. Perutku ramping dan rata. Pinggulku memiliki lekukan yang indah
dan pantatku bulat penuh, menungging indah. Kedua kakiku panjang dan
ramping. Mulai dari pahaku yang gempal dan bentuk betisku yang
menggairahkan.
Mungkin kang Hendi tak pernah mengira akan
keindahan tubuhku ini karena memang sehari-hari aku selalu menggunakan
pakaian yang tidak pernah menonjolkan lekukan tubuhku. Aku bisa
membayangkan bagaimana terkagum-kagumnya Kang Hendi melihatku dalam
keadaan telanjang bulat.
"Neng.. kamu cantik sekali. Sempurna..
oohh indah sekali. Mmhh.. teteknya montok dan aakkhh.. lebat sekali.."
puji Kang Hendi tak henti-hentinya menatap selangkanganku yang dipenuhi
bulu hitam lebat, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih.
Mataku melirik ke bawah melihat tonjolan keras di balik cawatnya.
Uugghh.. kurasakan dadaku berdegub, selangkanganku berdenyut dan semakin
membasah oleh gairah membayangkan batang keras dibalik cawatnya. Gede
sekali dan panjang! Lenguhku dalam hati sambil menahan rangsangan hebat.
"Kaanngg.. ngghh.. jangan ngeliatin aja. Khan malu.." rengekku manja dengan gaya mulai bergenit-genit.
Seakan baru tersadar dari keterpesonaannya, Kang Hendi lalu mulai beraksi.
"Abisnya cantik sekali kamu sih, Neng" katanya kemudian seraya melepaskan cawatnya hingga ia pun kini sama-sama telanjang.
Kulihat batang kontolnya yang keras itu meloncat keluar seperti ada
pernya begitu lepas dari kungkungan cawatnya. Mengacung tegang dengan
gagahnya. Aku terbelalak melihatnya. Benar saja besar dan panjang.
Kulihat otot-ototnya melingkar di sekujur batang itu. Aku sudah tak
sabar ingin merasakan kekerasannya dalam genggamanku. Terus terang baru
kali ini aku melihat kontol selain milik suamiku. Dan apa yang dimiliki
kang Hendi membuat punya suamiku seperti milik anak kecil saja.
Lagi-lagi aku membanding-bandingkan. Buru-buru pikiran itu kubuang. Aku
lebih suka menyambut kedatangan Kang Hendi menindih tubuhku lagi.
Kini aku langsung menyambut hangat ciumannya sambil merangkulnya dengan
erat. Ciuman Kang Hendi benar-benar menghanyutkan. Aku dibuatnya
bergairah. Apalagi kurasakan gesekan kontol yang keras di atas perutku
semakin membuat gairahku meledak-ledak. Kang Hendi lalu kembali menciumi
buah dadaku. Kali ini kusodorkan dengan sepenuh hati. Kurasakan hisapan
dan remasannya dengan penuh kenikmatan. Tanganku mulai berani lebih
nakal. Menggerayang ke sekujur tubuhnya, bergerak perlahan namun pasti
ke arah batangnya. Hatiku berdesir kencang merasakan batang nan keras
itu dalam genggamanku. Kutelusuri mulai dari ujung sampai pangkalnya.
Jemariku menari-nari lincah menelusuri urat-urat yang melingkar di
sekujur batangnya. Kukocok perlahan dari atas ke bawah dan sebaliknya.
Terdengar Kang Hendi melenguh perlahan. Kuingin ia merasakan kenikmatan
yang kuberikan. Ujung jariku menggelitik moncongnya yang sudah licin
oleh cairannya. Lagi-lagi Kang Hendi melenguh. Kali ini lebih keras.
Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Kepalanya persis berada di atas
selangkanganku sementara miliknya persis di atas wajahku. Kulihat
batangnya bergelantungan, ujungnya menggesek-gesek mulutku. Entah dari
mana keberanianku muncul, mulutku langsung menangkap kontolnya. Kukulum
pelan-pelan. Sesungguhnya aku tak pernah melakukan hal ini kepada
suamiku sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berubah menjadi
binal, tak ada bedanya dengan perempuan-perempuan nakal di jalanan.
Namun aku tak peduli. Aku ingin merasakan kebebasan yang
sebenar-benarnya. Kuingin semua naluriku melampiaskan fantasi-fantasi
liar yang ada dalam diriku. Kuingin menikmati semuanya.
Kang
Hendi tak mau kalah. Lidahnya menjulur menelusuri garis memanjang bibir
kemaluanku. Aku terkejut seperti terkena listrik. Tubuhku bergetar.
Kurasakan darahku berdesir kemana-mana. Lidah Kang Hendi bermain lincah.
Menjilat, menusuk-nusuk, menerobos rongga rahimku. Aku seperti
melayang-layang di atas awan. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa
selama hidupku. Aku tak pernah merasakan dijilati seperti itu
sebelumnya. Nikmatnya sungguh tak terkira. Pinggulku tak bisa diam,
mengikuti kemana jilatan lidah Kang Hendi berada.
Tubuhku
seperti dialiri listrik berkekuatan tinggi. Gemetar menahan desakan kuat
dalam tubuhku. Rasanya aku tak tahan menerima kenikmatan ini. Perutku
mengejang. Kakiku merapat, menjepit kepala Kang Hendi. Seluruh
otot-ototku menegang. Jantungku serasa berhenti. Aku berkutat sekuat
tenaga sampai akhirnya ku tak mampu lagi dan langsung melepaskannya
diiringi jeritan lirih dan panjang. Tubuhku menghentak berkali-kali
mengikuti semburan cairan hangat dari dalam liang memekku. Aku terhempas
di atas ranjang dengan tubuh lunglai tak bertenaga. Puncak kenikmatan
yang kucapai kali ini sungguh luar biasa dan dahysat. Aku merasa telah
terbebas dari sesuatu yang sangat menyesakan dada selama ini.
"Oohh.. Kaanngg.. ngghh.. enak sekali.." rintihku tak kuasa menahan diri.
Aku sendiri tak sadar dengan apa yang kuucapkan. Sungguh memalukan
sekali pengakuan atas kenikmatan yang kurasakan saat itu. Aku tak ingin
Kang Hendi menilai rendah diriku. Ku tak ingin ia tahu aku sangat
menikmati cumbuannya. Kulihat Kang Hendi tersenyum di bawah sana. Ia
merasa sudah mendapatkan kemenangan atas diriku. Ia bangga dengan
kehebatannya bercinta hingga mampu membuatku orgasme lebih dulu. Aku tak
bisa berbuat banyak, karena harus kuakui bahwa diriku sangat
membutuhkannya saat ini. Membutuhkan apa yang sedang kuggengam dalam
tanganku. Benda yang tentunya akn memberikan kenikmatan yang lebih dari
yang kudapatkan barusan.
Tanpa sadar jemariku meremas-remas
kembali batang kontolnya. Kukocok perlahan dan kumasukan ke dalam
mulutku. Kukulum dan kujilat-jilat. Kurasakan Kang Hendi meregang,
merintih kenikmatan. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku ingin ia
merasakan kenikmatan pula. Kenikmatan yang akan membuatnya memohon-mohon
padaku. Kulumanku semakin panas. Lidahku melata-lata liar di sekujur
batangnya. Aku bertekad untuk mengeluarkan air maninya secepat mungkin.
Terdengar suara selomotan mulutku. Kang Hendi merintih-rintih keenakan.
Rasain, runtukku dalam hati dan mulai tak sabar ingin melihat air
maninya menyembur keluar. Di atas tubuhku, Kang Hendi menggerakan
pinggulnya seolah sedang bersenggama, hanya saja saat itu kontolnya
menancap dalam mulutku. Kuhisap, kusedot kuat-kuat. Ia masih bertahan.
Aku kembali berusaha tetapi nampaknya ia belum memperlihatkan
tanda-tanda. Aku sudah mulai kecapaian. Mulutku terasa kaku. Sementara
gairahku mulai bangkit kembali. Liang memekku sudah mulai mengembang dan
basah kembali, sedangkan kontol Kang Hendi masih tegang dan gagah
perkasa. Bahkan terasa lebih keras.
"Udah Neng. Ganti posisi aja.." kata Kang Hendi kemudian seraya membalikkan tubuhnya dalam posisi umumnya bersetubuh.
Kang Hendi memang piawai dalam bercinta. Ia tidak langsung menancapkan
kontolnya ke dalam memekku, tetapi digesek-gesekan dulu di sekitar bibir
kemaluanku. Ia sepertinya sengaja melakukan itu. Kadang-kadang ditekan
seperti akan dimasukan, tetapi kemudian digeserkan kembali ke ujung atas
bibir kemaluanku menyentuh kelentitku. Kepalanya digosok-gosokan. Aku
menjerit lirih saking keenakan. Ngilu, enak dan entah apa lagi rasanya.
"Kaangg.. aduuhh.. udah kang! Sshh.. mmppffhh.. ayoo kang.. masukin aja.. nggak tahan!" pintaku menjerit-jerit tanpa malu-malu.
Aku sudah tak memikirkan lagi kehormatan diriku. Rasa gengsi atau
apapun. Yang kuinginkan sekarang adalah ia segera mengisi kekosongan
liang memekku dengan kontolnya yang besar dan panjang. Aku nyaris
mencapai orgasme leagi hanya dengan membayangkan betapa nikmatnya kontol
sebesar itu mengisi penuh liang memekku yang rapat.
"Udah
nggak tahan ya, Neng" candanya sehingga membuatku blingsatan menahan
nafsu. Kurang ajar sekali Kang Hendi ini. Ia tahu aku sudah dalam
kendalinya jadi bisa mempermainkan perasaanku semau-maunya.
Aku
gemas sekali melihatnya menyeringai seperti itu. Di luar dugaannya, aku
langsung menekan pantatnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Kang
Hendi sama sekali tak menyangka hal ini. Ia tak sempat menahannya. Maka
tak ayal lagi batang kontolnya melesak ke dalam liang memekku. Aku
segera membuak kedua kakiku lebar-lebar, memberi jalan seleluasa mungkin
bagi kontolnya. Aku berteriak kegirangan dalam hati, akhirnya kontol
Kang Hendi berhasil masuk seluruhnya. Meski cukup menyesakkan dan
membuat liang memekku terkuak lebar-lebar, tetapi aku puas dan lega
karena keinginanku tercapai sudah.
Kulihat wajah Kang Hendi
terbelalak tak menyangka akan perbuatanku. Ia melirik ke bawah melihat
seluruh kontolnya terbenam dalam liangku. Aku tersenyum menyaksikannya.
Ia balas tersenyum, "Kamu nakal ya.." katanya kemudian.
"Awas, entar Akang bikin kamu mati keenakan. "
"Mau doongg.." jawabku dengan genit sambil memeluk tubuh kekarnya.
Kang Hendi mulai menggerakan pinggulnya. Pantatnya kulihat naik turun
dengan teratur. Kadang-kadang digeol-geolkan sehingga ujung kontolnya
menyentuh seluruh relung-relung vaginaku. Aku turut mengimbanginya.
Pinggulku berputar penuh irama. Bergerak patah-patah, kemudian berputar
lagi. Goyangan ini timbul begitu saja dalam benakku. Mungkin terlalu
sering nonton penyanyi dangdut bergoyang di panggung. Tetapi efeknya
sungguh luar biasa. Kang hendi tak henti-hentinya memuji goyanganku. Ia
bilang belum pernah merasakan goyangan sehebat ini. Aku tambah
bergairah. Pinggulku terus bergoyang tanpa henti sambil mengedut-edutkan
otot vaginaku sehingga Kang Hendi merasakan kontol seperti diemut-emut.
"Akkhh Neengg.. eennaakkhh.., hebaathh.. uugghh.." erangnya berulang-ulang.
Kang Hendi mempercepat irama tusukannya. Kurasakan batang kontol besar
itu keluar masuk liang memekku dengan cepatnya. Aku imbangi dengan cepat
pula. Kuingin Kang Hendi lebih cepat keluar. Aku ingin membuatnya KO!
Kami saling berlomba, berusaha saling mengalahkan. Kuakui permainan Kang
Hendi memang luar biasa. Mungkin kalau aku belum sempat orgasme tadi,
tentunya aku sudah keluar duluan. Aku tersenyum melihat Kang Hendi
nampak berusaha keras untuk bertahan, padahal sudah kurasakan tubuhnya
mulai mengejang-ngejang. Aku berpikir ia akan segera tumpah.
Pinggulku meliuk-liuk liar bak kuda binal. Demikian pula Kang Hendi,
pantatnya mengaduk-aduk cepat sekali. Semakin bertambah cepat, sudah
tidak beraturan seperti tadi. Aku terperangah karena tiba-tiba saja
terasa aliran kencang berdesir dalam tubuhku. Akh.. nampaknya aku
sendiri tidak tahan lagi. Memekku terasa merekah semakin lebar, kedua
ujung puting susuku mengeras, mencuat berdiri tegak. Mulut Kang Hendi
langsung menangkapnya, menyedotnya kuat-kuat. Menjilatinya dengan penuh
nafsu. Aku membusungkan dadaku sebisa mungkin dan oohh.. rasanya aku tak
kuat lagi bertahan.
"Kang Hendi! Cepet keluarin juga..!" teriakku sambil menekan pantatnya kuat-kuat agar mendesak selangkanganku.
Beberapa detik kemudian aku segera menyemburkan air maniku disusul
kemudian oleh semprotan cairan hangat dan kental menyirami seluruh liang
memekku. Tubuh Kang Hendi bergetar keras. Ia peluk diriku erat-erat.
Aku balas memeluknya. Kami lalu bergulingan di ranjang merasakan
kenikmatan puncak permainan cinta ini dengan penuh kepuasan. Kami
merasakannya bersama-sama. Kami sudah tidak memperdulikan tubuh kami
yang sudah basah oleh peluh keringat, bantal berjatuhan ke lantai. Sprei
berantakan tak karuan, terlepas dari ikatannya. Eranganku, jeritan
nikmatku saling bersahutan dengan geramannya. Kedua kakiku melingkar di
seputar pinggangnya. Aku masih merasakan kedutan-kedutan batang kontol
Kang Hendi dalam memekku.
Nikmat sekali permainan gairah cinta
yang penuh dengan gelora nafsu birahi ini. Aku termenung merasakan
sisa-sisa akhir kenikmatan ini. Pikiranku menerawang jauh. Apakah aku
masih bisa merasakan kehangatan ini bersama Kang Hendi. Apakah hanya
sampai disini saja mengingat perselingkuhan ini suatu saat akan
terungkap juga. Bagaimana akibatnya? Bagaimana perasaan kakakku? Orang
tuaku, suamiku dan yang lainnya? Akh! Aku tak mau memikirkannya saat
ini. Aku tak ingin kenikmatan ini terganggu oleh hal-hal lain. Kuingin
merasakan semuanya malam ini bersama Kang Hendi. Lelaki yang telah
memberikan pengalaman baru dalam bercinta. Dialah orang yang telah
membuat lembaran baru dalam garis kehidupan masa depanku.
Semenjak peristiwa di malam itu, aku dan Kang Hendi selalu mencari
kesempatan untuk melakukannya kembali. Ia memang seorang lelaki yang
benar-benar jantan. Begitu perkasa. Aku harus akui ia memang sangat
pandai memuaskan wanita kesepian seperti diriku. Ia selalu hadir dalam
dekapanku dengan gaya permainan yang berlainan. Aku tidak penah bosan
melakukannya, selalu ada yang baru. Salah satu diantaranya, yang juga
merupakan gaya favoritku, ia berdiri sambil memangku tubuhku. Kedua
kakiku melingkar di pinggangnya, tanganku bergelayut di lehernya agar
tak terjatuh. Selangkanganku terbuka lebar dan batang kontolnya menusuk
dari bawah. Aku bergelayutan seperti dalam ayunan mengimbangi tusukan
kontolnya. Kang Hendi melakukan semua itu sambil berjalan mengelilingi
kamar dan baru berhenti di depan cermin. Saat kumenoleh kebelakang aku
bisa melihat bayangan pantatku bergoyang-goyang sementara kontolnya
terlihat keluar masuk memekku. Sungguh asyik sekali permainan dalam gaya
ini.
Namun perselingkuhanku dengan Kang Hendi berlangsung tak
begitu lama. Aku sudah sangat ketakutan semua ini suatu saat terungkap.
Makanya aku memutuskan untuk pindah dari kampungku agar tidak bertemu
lagi dengannya. Terus terang saja, setelah kejadian itu, justru akulah
yang sering memintanya untuk datang ke kamarku malam-malam. Aku tak
pernah bisa menahan diri. Apalagi kalau sudah melihatnya bercanda mesra
dengan kakakku. Pernah suatu kali aku penasaran untuk mengintip mereka
bercinta di kamarnya. Aku kebingungan sendiri sampai akhirnya lari ke
kamar dan melakukannya sendiri hingga aku mencapai kenikmatan karena
menunggu Kang Hendi jelas tak mungkin karena istrinya ada di rumah.
Keadaan ini jelas tak mungkin berlangsung terus menerus, selain akan
terungkap, akupun rasanya akan menderita harus bertahan seperti ini.
Dengan berat hati akhirnya aku pindah ke kota. Kujual semua hartaku,
termasuk rumah tinggal, sawah dan ternak-ternak milikku untuk modal
nanti di kehidupanku yang baru. Kecuali mobil karena kuanggap akan
sangat berguna sebagai alat transportasi untuk menunjang kegiatanku
nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar